Perlukah Sunat Pada Anak Perempuan?

Istilah sunat pada anak perempuan mungkin tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tradisi yang dilakukan turun-temurun tersebut banyak menuai kontroversi khususnya bagi petugas medis.

Ini karena bila ditinjau dari sudut anatomi (struktur fisik) alat kelamin perempuan, labium (bibir kemaluan) identik dengan skrotum (buah zakar) laki-laki, sedangkan klitoris identik dengan penis karena struktur dasarnya memang sama.

Pada anak laki-laki, prepusium (kulit penutup) pada kepala penis berbeda dengan prepusium pada klitoris. Prepusium pada laki-laki menutup seluruh kepala penis agak rapat dan panjang sedangkan pada perempuan prepusiumnya hanya menutupi klitoris seperti payung.

Maka dari itu, kotoran yang menumpuk pada prepusium penis harus dileluarkan atau dibersihkan. Dan cara efektif adalah dengan di sunat supaya kotoran tersebut tidak menjadi sumber infeksi dan menyebabkan kepala penis mengalami peradangan karena prepusium terlalu panjang sehingga terlalu sulit untuk dibersihkan dengan cara biasa. Seperti diketahui sunat pada anak laki-laki membuat kepala penis terbuka karena hampir seluruh prepusium dipotong sehingga kotoran tidak akan berkumpul lagi di dalamnya.

Oleh karena itu sunat pada anak laki-laki justru dianjurkan secara medis karena terbukti ada manfaatnya. Sedangkan pada perempuan kotoran itu tidak akan berkumpul karena prepusium tidak menutup rapat klitoris, sehingga kotoran akan ikut dibersihkan setiap buang air kecil. Maka dari itu, tindakan sunat perempuan tidak diperlukan. Apalagi selama ini tidak pernah ada prosedur medis yang baku untuk sunat perempuan, sepertinya mengalir dari mulut ke mulut.

Celakanya kalau ada orangtua yang memaksa anak perempuannya disunat meski dokter telah menjelaskan bahwa hal itu tidak perlu, maka akhirnya sunat tetap dilakukan sebagai simbol saja, misalnya cuma dengan menyentuh ujung jarum suntik atau gunting atau pisau pada prepusium (kulit penutup) klitoris sampai keluar darah sedikit.

Jadi dalam hal ini sunat pada anak perempuan lebih untuk indikasi psikis orang tua. Sementara dari sisi medis sendiri, sunat perempuan tersebut dinilai tidak ada manfaatnya. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengkampanyekan untuk tidak mentoleransi terhadap tindakan sunat perempuan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan menteri kesehatan tentang pelarangan bagi tenaga medis untuk melakukan sunat pada anak perempuan.

Harus diakui memang hal tersebut  dapat menimbulkan ketakutan masyarakat tidak meminta pertolongan tenaga medis lagi untuk melakukan sunat perempuan pada anak mereka, sehingga mereka akan lebih nyaman datang ke dukun sunat tradisional. Padahal jika dilakukan secara tradisional oleh orang-orang yang tidak tahu anatomi alat kelamin perempuan, maka sunat pada anak perempuan dapat mengakibatkan kerusakan fungsi klitoris dan hal tersebut merugikan, misalnya bila sampai terjadi mutilasi klitoris. Ini karena mutilasi tersebut akan berakibat fatal, diantaranya berkurangnya kepuasan seks yang dirasakan oleh perempuan (orgasme).

Selain itu, tindakan sunat oleh dukun tradisional pastilah menggunakan alat tidak steril sehingga dapat mengakibatkan infeksi pada klitoris. Maka dari itu masyarakat sebetulnya tidak perlu khawatir karena secara medis tidak ada dampak serius bagi anak perempuan yang tidak di sunat, berbeda dengan laki-laki.


Tentang efek terhadap dorongan seks perempuan atau kepuasan seks setelah menikah jika tidak di sunat juga sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Yang jelas, faktor penting yang menentukan kepuasan seks pada anak perempuan adalah kondisi psikis atau emosionalnya. Bukan telah di sunat atau tidaknya.

No comments:

Post a Comment